Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terus mengusut tuntas kasus dugaan pemerasan dalam pengurusan Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing (RPTKA) di Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker). Kasus yang melibatkan sejumlah pejabat dan mantan pejabat ini telah menjerat delapan tersangka dan kini KPK mulai mendalami peran pihak-pihak lain yang diduga terlibat.
Terbaru, KPK memanggil tiga mantan staf khusus menteri ketenagakerjaan untuk dimintai keterangan sebagai saksi. Pemanggilan ini menjadi bagian penting dari rangkaian penyelidikan yang bertujuan untuk mengungkap seluruh jaringan dan aliran dana dalam kasus korupsi tersebut.
Pemanggilan Mantan Staf Khusus Menteri Ketenagakerjaan
Pada Selasa lalu, KPK memeriksa tiga mantan staf khusus menteri ketenagakerjaan di Gedung Merah Putih. Ketiganya adalah Caswiyono Rusydie Cakrawangsa (CRC), Risharyudi Triwibowo (RT), dan Luqman Hakim (LM).
CRC dan RT diketahui menjabat sebagai stafsus pada era Menteri Ida Fauziyah. Sementara LM menjabat sebagai stafsus pada masa Menteri Hanif Dhakiri. Ketiga saksi ini diharapkan dapat memberikan informasi penting terkait dugaan keterlibatan mereka dalam kasus ini.
KPK sejauh ini masih merahasiakan materi pemeriksaan. Namun, pemeriksaan ini menunjukkan komitmen KPK untuk mengungkap seluruh aktor yang terlibat dalam kasus mega korupsi ini.
Kronologi dan Para Tersangka Kasus Pemerasan RPTKA
Kasus ini terungkap pada 5 Juni 2025, dengan penetapan delapan tersangka. Mereka adalah Aparatur Sipil Negara (ASN) di Kemenaker.
Nama-nama tersangka tersebut antara lain Suhartono, Haryanto, Wisnu Pramono, Devi Anggraeni, Gatot Widiartono, Putri Citra Wahyoe, Jamal Shodiqin, dan Alfa Eshad.
Kedelapan tersangka diduga telah melakukan pemerasan terhadap para pemohon RPTKA sejak tahun 2019 hingga 2024. Total uang yang berhasil dikumpulkan diduga mencapai Rp53,7 miliar.
Sistem Pemerasan RPTKA
Modus operandi para tersangka terbilang sistematis. Mereka memanfaatkan kewenangan dan posisi mereka dalam pengurusan RPTKA.
RPTKA merupakan persyaratan penting bagi Tenaga Kerja Asing (TKA) untuk bekerja di Indonesia. Tanpa RPTKA, izin kerja dan izin tinggal TKA akan terhambat, sehingga mereka dikenakan denda Rp1 juta per hari.
Kondisi inilah yang dieksploitasi para tersangka untuk melakukan pemerasan. Para pemohon RPTKA terpaksa memberikan uang kepada tersangka agar proses pengurusan dokumen mereka berjalan lancar.
Dugaan Keterlibatan di Beberapa Periode Kepemimpinan Menteri
KPK juga mengungkapkan bahwa dugaan praktik pemerasan ini diduga telah berlangsung sejak era Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Abdul Muhaimin Iskandar (2009-2014).
Praktik tersebut diduga berlanjut di era Menteri Hanif Dhakiri (2014-2019) dan Ida Fauziyah (2019-2024).
Pemanggilan mantan staf khusus menteri dari berbagai periode ini menunjukkan bahwa KPK tengah menyelidiki kemungkinan keterlibatan pejabat di berbagai masa kepemimpinan.
Proses investigasi masih terus berlanjut. KPK berkomitmen untuk mengungkap seluruh fakta dan menjerat semua pihak yang terlibat dalam kasus ini, sebesar apapun jabatan mereka.
Kasus ini menjadi perhatian publik karena menyoroti celah sistem dan praktik korupsi yang merugikan negara dan menghambat investasi. Pengungkapan kasus ini diharapkan dapat menjadi pelajaran berharga dan langkah awal untuk reformasi birokrasi di Kemenaker, memastikan proses pengurusan RPTKA transparan dan akuntabel.
Pentingnya transparansi dan akuntabilitas dalam pemerintahan semakin ditekankan melalui kasus ini. Upaya pemberantasan korupsi secara menyeluruh dan terintegrasi diperlukan untuk membangun Indonesia yang bersih dan berwibawa.