Serangan udara Israel di Gaza pada Kamis, 17 Juli 2025, menghancurkan sebagian besar kompleks Gereja Keluarga Kudus, satu-satunya gereja Katolik di wilayah tersebut. Tragedi ini mengakibatkan tewasnya dua orang. Serangan tersebut terjadi di pagi hari, saat gereja menampung sekitar 600 pengungsi, termasuk anak-anak dan 54 penyandang disabilitas.
Patriarkat Latin Yerusalem mengecam keras serangan tersebut. Mereka menyebut penargetan situs suci yang menjadi tempat berlindung warga sipil sebagai pelanggaran berat terhadap martabat manusia dan kesucian tempat ibadah.
Serangan Brutal dan Kecaman Internasional
Serangan terhadap Gereja Keluarga Kudus memicu kecaman luas dari berbagai pihak. Paus Leo XIV menyampaikan keprihatinannya atas insiden tersebut, yang juga menewaskan sedikitnya 20 orang lainnya di Gaza.
Juru bicara pertahanan sipil Gaza, Mahmud Bassal, mengkonfirmasi bahwa dua warga Kristen termasuk di antara korban tewas. Gereja Keluarga Kudus diketahui menjadi tempat berlindung bagi umat Kristen Ortodoks sejak pecahnya perang Israel-Hamas Oktober 2023.
Foto-foto yang beredar memperlihatkan para korban luka dirawat di tenda darurat Rumah Sakit Al-Ahli. Kondisi memprihatinkan ini semakin memperburuk situasi kemanusiaan yang sudah rapuh di Gaza.
Tanggapan Israel dan Italia
Kementerian Luar Negeri Israel menyatakan penyesalan mendalam atas insiden tersebut dan menegaskan bahwa militer Israel tengah melakukan penyelidikan. Mereka membantah sengaja menargetkan gereja atau tempat ibadah, serta menyesalkan kerusakan yang terjadi pada tempat ibadah atau warga sipil.
Namun, pernyataan Israel ini tidak cukup meredam kemarahan internasional. Italia, melalui Perdana Menteri Giorgia Meloni dan Menteri Luar Negeri Antonio Tajani, mengecam keras serangan tersebut. Meloni menyebut serangan terhadap warga sipil di Gaza sebagai tindakan yang tidak dapat diterima. Tajani menilai serangan terhadap gereja sebagai tindakan serius terhadap tempat ibadah Kristen.
Konteks Kehidupan Umat Kristen di Gaza
Data dari Patriarkat Latin menunjukkan bahwa dari sekitar dua juta penduduk Gaza, hanya sekitar 1.000 orang yang beragama Kristen, sebagian besar beraliran Ortodoks. Jumlah umat Katolik diperkirakan sekitar 135 orang.
Serangan ini menyoroti kehidupan minoritas Kristen di Gaza yang rapuh dan rentan dalam konflik berkepanjangan. Keberadaan mereka semakin terancam di tengah situasi yang penuh kekerasan dan ketidakpastian. Kejadian ini juga menjadi pengingat akan pentingnya perlindungan tempat ibadah dan warga sipil dalam konflik bersenjata.
Insiden ini mengingatkan kembali pada pesan terakhir Paus Fransiskus (alm.) yang menyerukan perdamaian di Gaza dan meminta diakhirinya perang yang telah menimbulkan penderitaan besar bagi penduduk sipil, termasuk minoritas Kristen. Kejadian ini pun diharapkan menjadi momentum bagi komunitas internasional untuk mendesak diakhirinya kekerasan dan melindungi warga sipil di Gaza.