Persoalan sengketa empat pulau antara Aceh dan Sumatera Utara telah berlangsung selama lebih dari dua dekade. Perselisihan ini berpusat pada kepemilikan Pulau Mangkir Gadang, Pulau Mangkir Ketek, Pulau Lipan, dan Pulau Panjang. Anggota Komisi II DPR RI, Muhammad Khozin, menyerukan penyelesaian yang harmonis dan elegan, menekankan pentingnya mempertimbangkan aspek sosiologis dan budaya Aceh dalam proses tersebut. Persoalan ini menuntut solusi yang bijak dan adil bagi semua pihak.
Sejarah Panjang Sengketa Empat Pulau
Sengketa kepemilikan empat pulau di perairan Aceh dan Sumatera Utara bermula pada tahun 2008. Saat itu, Tim Nasional Pembakuan Nama Rupabumi (PNR) menetapkan empat pulau tersebut masuk wilayah Sumatera Utara.
Tim PNR yang terdiri dari Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Pusat Hidro Oseanografi TNI AL, dan Badan Informasi Geospasial (BIG) mengeluarkan keputusan yang hingga kini masih diperdebatkan.
Pemerintah Aceh sejak saat itu terus berupaya untuk mendapatkan kembali pulau-pulau tersebut. Upaya ini dilakukan melalui berbagai mekanisme pemerintahan dan negosiasi dengan pemerintah pusat.
Peran Kementerian Dalam Negeri dan Upaya Penyelesaian
Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) memiliki peran krusial dalam menyelesaikan sengketa ini. Berbagai keputusan Mendagri terkait kode dan data wilayah administrasi pemerintahan telah dikeluarkan.
Keputusan Mendagri Nomor 050-145 Tahun 2022 dan revisinya, serta Kepmendagri Nomor 300.2.2-2138 Tahun 2025, secara konsisten menetapkan empat pulau tersebut sebagai bagian dari Provinsi Sumatera Utara.
Direktur Jenderal Bina Administrasi Kewilayahan Kemendagri, Safrizal Zakaria Ali, menyatakan bahwa keputusan tersebut diambil setelah melalui proses panjang dan kesepakatan antara Aceh dan Sumatera Utara untuk menyerahkannya kepada Tim Nasional PNR.
Kemendagri menyatakan kesiapannya untuk memfasilitasi pertemuan antara Gubernur Sumatera Utara dan Gubernur Aceh guna mencari solusi damai. Opsi pertemuan dengan Tim PNR juga terbuka untuk memberikan penjelasan yang komprehensif.
Aspek Sosiologis dan Budaya yang Tak Boleh Diabaikan
Muhammad Khozin dari Komisi II DPR RI menekankan pentingnya mempertimbangkan aspek sosiologis dan budaya Aceh dalam menyelesaikan sengketa ini. Tradisi larangan mencari ikan di empat pulau tersebut pada hari Jumat, yang diatur dalam Qanun Aceh, merupakan contoh pentingnya hal ini.
Aspek budaya dan sosial ini merupakan bagian integral dari kehidupan masyarakat Aceh dan harus dipertimbangkan dalam setiap keputusan yang diambil. Penyelesaian sengketa ini tidak semata-mata bergantung pada aspek yuridis, tetapi juga pada pemahaman dan penghargaan terhadap nilai-nilai budaya lokal.
Musyawarah mufakat merupakan jalan yang ideal untuk mencapai penyelesaian yang adil dan berkelanjutan. Hal ini akan menciptakan harmoni dan pemahaman di antara kedua pihak yang bersengketa.
Persoalan sengketa empat pulau antara Aceh dan Sumatera Utara menuntut pendekatan holistik yang mempertimbangkan aspek hukum, administratif, dan terutama, aspek sosio-kultural. Dengan mengedepankan dialog, musyawarah, dan pemahaman yang mendalam, diharapkan solusi yang mengakomodasi kepentingan semua pihak dapat segera tercapai, sekaligus menjaga keharmonisan hubungan antar daerah di Indonesia. Peran Kemendagri dalam memfasilitasi penyelesaian ini sangat krusial untuk memastikan proses berlangsung adil dan transparan.