Serangan Amerika Serikat (AS) ke situs nuklir Iran telah meningkatkan ketegangan geopolitik di Timur Tengah. Situasi semakin memanas dengan konflik yang telah berlangsung selama seminggu antara Iran dan Israel. Investor dunia pun dibuat was-was, menunggu langkah balasan Iran yang berpotensi mengganggu stabilitas global.
Salah satu senjata pamungkas Iran adalah penutupan Selat Hormuz, jalur utama pengiriman minyak dunia. Sekitar seperempat minyak global melintasi selat sempit ini.
Ancaman Penutupan Selat Hormuz: Risiko Geopolitik yang Tinggi
Potensi penutupan Selat Hormuz menjadi perhatian utama para analis pasar. Charu Chanana, kepala strategi investasi di Saxo Bank, menyebut ancaman ini sebagai sentimen terbesar yang mempengaruhi pasar saat ini.
Chanana memperingatkan bahwa setiap tanda pembalasan atau ancaman terhadap Selat Hormuz dapat langsung mengubah sentimen pasar dan memaksa evaluasi ulang risiko geopolitik secara lebih agresif. Hal ini disampaikannya melalui pernyataan yang dikutip dari Reuters pada Senin (23/6/2025).
Selat Hormuz, yang hanya selebar 33 kilometer di titik tersempitnya, memiliki peran vital dalam perdagangan global. Selat ini menjadi jalur utama bagi sekitar seperempat perdagangan minyak global dan 20% pasokan gas alam cair.
Lonjakan Harga Minyak Dunia: Skario Terburuk Penutupan Selat Hormuz
Penutupan Selat Hormuz akan berdampak besar pada harga minyak dunia. JPMorgan memperingatkan bahwa pergantian rezim di masa lalu di kawasan tersebut saja sudah dapat menyebabkan lonjakan harga minyak hingga 76%, dengan rata-rata kenaikan 30% dari waktu ke waktu.
Situasi ini akan jauh lebih buruk jika Selat Hormuz benar-benar ditutup. Goldman Sachs memperkirakan, jika Iran secara selektif mengganggu pengiriman melalui Selat Hormuz, harga minyak Brent bisa mencapai setidaknya US$ 100 per barel.
Bahkan, jika penutupan berlangsung selama sebulan, harga minyak diperkirakan bisa mencapai US$ 110 per barel. Ini adalah skenario terburuk yang sangat mungkin terjadi.
Respons Pasar Saat Ini dan Prospek ke Depan
Saat ini, harga minyak Brent naik 1,8% menjadi US$ 78,42 per barel, sementara minyak mentah AS naik 1,9% menjadi US$ 75,26 per barel. Kenaikan ini masih relatif terkendali, namun tetap mencerminkan kekhawatiran pasar terhadap situasi di Timur Tengah.
Ketegangan geopolitik yang sedang berlangsung di Timur Tengah masih menjadi fokus utama investor global. Respons Iran terhadap serangan AS dan perkembangan selanjutnya akan sangat menentukan arah pasar minyak dunia dan perekonomian global.
Ketidakpastian akan terus membayangi pasar hingga Iran memberikan respons resmi. Perkembangan selanjutnya patut dipantau ketat karena potensi dampaknya terhadap stabilitas ekonomi global sangat signifikan. Kemampuan semua pihak untuk meredakan tensi menjadi kunci penting dalam menghindari skenario terburuk.