Dunia kerja tengah mengalami transformasi besar. Era Post-Labor Economics telah tiba, menandai perubahan mendasar dalam sistem upah dan tunjangan tradisional. Otomatisasi, pergeseran demografi, dan tuntutan ekonomi baru menjadi pendorong utama perubahan ini.
Indonesia, seperti negara lain, harus bersiap menghadapi disrupsi ini. Sistem upah dan tunjangan yang selama ini kita kenal akan mengalami perubahan signifikan dalam beberapa tahun mendatang.
Upah Minimum Statis dan Negosiasi Tertutup: Sebuah Masa Lalu?
Sistem upah minimum statis, seperti yang diterapkan di beberapa negara, diperkirakan akan ditinggalkan. Contohnya, upah federal di AS yang stagnan sejak 2009, sementara inflasi terus mengikis daya belinya.
Model ‘subminimum wage’ untuk pekerja tip juga telah dihapus di beberapa negara bagian AS. Praktik ini menunjukkan tren global menuju standar upah yang lebih adil dan transparan.
Di Indonesia, sektor informal yang menyerap hampir 60% tenaga kerja, akan terdampak. Tuntutan transparansi global akan mendorong terciptanya standar upah yang lebih seragam.
Negosiasi upah tertutup di sektor formal juga akan mengalami perubahan. ‘Wage posting’ atau publikasi upah secara transparan dalam lowongan kerja akan semakin umum. Ini bertujuan mengurangi asimetri informasi dan menekan kesenjangan upah.
Sistem upah berbasis pengalaman juga akan ditinggalkan karena berpotensi menimbulkan bias. Sistem upah berbasis lokasi geografis akan usang karena digitalisasi memungkinkan pembayaran berbasis keterampilan global.
Pekerja di Bandung, misalnya, bisa mendapatkan upah setara pekerja di Jakarta untuk pekerjaan jarak jauh (remote). Namun, ini juga menghadirkan tantangan persaingan dengan tenaga kerja global.
Runtuhnya Tunjangan Tradisional dan Kebangkitan Tunjangan Fleksibel
Disrupsi tidak hanya terjadi pada sistem upah, tetapi juga pada sistem tunjangan. Model asuransi kesehatan berbasis perusahaan yang terbatas di Indonesia, kemungkinan akan digantikan oleh skema tunjangan portabel berbasis pemerintah, seperti perluasan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).
Tantangan utamanya adalah bagaimana menjangkau jutaan pekerja informal yang belum terintegrasi dengan JKN.
Paket tunjangan tetap dan non-fleksibel, seperti cuti sakit seragam, akan digantikan dengan modul tunjangan ‘on-demand’. Contohnya, dana pelatihan atau subsidi penitipan anak, yang lebih sesuai dengan preferensi pekerja modern.
Namun, implementasi di Indonesia terhambat oleh regulasi ketenagakerjaan yang kaku. Sistem jaminan sosial tradisional seperti BPJS Ketenagakerjaan, juga perlu beradaptasi dengan pertumbuhan pekerja paruh waktu dan gig economy.
Konsep Universal Basic Benefits (UBB), yang diuji coba di beberapa negara maju, bisa menjadi alternatif. Di Indonesia, program seperti Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) masih perlu diperluas cakupannya.
Ancaman dan Peluang Indonesia di Era Post-Labor Economics
Beberapa faktor mempercepat transformasi ini di Indonesia. Deindustrialisasi prematur, misalnya, diproyeksikan akan menyebabkan PHK massal di sektor tekstil (sekitar 280.000 pekerja pada 2025).
Hal ini memaksa transisi cepat ke ekonomi berbasis keterampilan, namun infrastruktur pelatihan yang memadai masih kurang.
Jumlah angkatan kerja muda Indonesia (lebih dari 150 juta) berpotensi menjadi aset jika reskilling berhasil, tetapi berisiko menjadi beban jika gagal. Tekanan global juga mempercepat otomatisasi dan mengurangi pekerjaan upah rendah.
Risiko polarisasi ketenagakerjaan mengintai. Pekerja informal berisiko kehilangan pendapatan tanpa jaring pengaman, sementara pekerja terampil di kota akan menikmati upah global.
Pekerja senior (sekitar 15% dari total tenaga kerja berusia di atas 50 tahun) juga menghadapi risiko pengangguran struktural karena kesulitan akses pelatihan ulang. Ketimpangan geografis juga akan memperlebar jurang upah desa-kota.
Untuk menghadapi tantangan ini, Indonesia membutuhkan adaptasi cepat. Inisiatif awal UBB terbatas dan integrasi ‘wage posting’ dalam platform rekrutmen bisa menjadi langkah awal.
Perluasan JKN menjadi tunjangan portabel dasar dan evolusi formula upah minimum provinsi ke ‘skill-based indexing’ juga diperlukan.
Reformasi JKP yang diperluas cakupannya dan diintegrasikan dengan insentif pelatihan berbasis industri prioritas sangat penting. Pemerintah juga perlu mengalokasikan anggaran untuk Peta Jalan Reskilling Nasional.
Desentralisasi ekonomi melalui pembangunan pusat-pusat digital di luar Jawa juga krusial untuk menyerap tenaga kerja terampil.
Transisi Indonesia ke era Post-Labor Economics akan lebih kompleks dibanding negara maju. Keberhasilannya bergantung pada kecepatan adopsi skema tunjangan portabel, efektivitas alih keterampilan massal, dan kemampuan meredistribusi kesempatan kerja berbasis skill ke seluruh Indonesia. Kegagalan di tiga hal ini berpotensi memicu stagnasi ekonomi dan eksklusi sosial. Kesuksesan di era ini terletak pada kemampuan menciptakan peran baru yang menggabungkan keunikan manusia, penguasaan teknologi, dan agilitas ekonomi. Ini adalah misi bangsa yang membutuhkan visi jangka panjang, eksekusi konsisten, dan keyakinan teguh pada potensi setiap individu.