Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) tengah diuji materiil di Mahkamah Konstitusi (MK). Ahli hukum Chandra M. Hamzah, mantan Wakil Ketua KPK, menyoroti potensi penafsiran yang keliru pada pasal-pasal tersebut, bahkan hingga berpotensi menjerat pedagang kaki lima.
Sidang yang berlangsung Jumat (20/6/2025) menghadirkan Chandra sebagai saksi ahli pemohon. Ia menilai redaksi pasal-pasal tersebut ambigu dan bermasalah.
Pasal 2 Ayat (1) UU Tipikor: Ambigu dan Berpotensi Menjerat Pedagang Kaki Lima
Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor berbunyi: “Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).”
Chandra menjelaskan, rumusan pasal ini terlalu luas dan ambigu. Hal ini berpotensi melanggar asas lex certa dan lex stricta karena tidak cukup jelas mendefinisikan perbuatan korupsi.
Ia memberikan contoh ekstrim: seorang penjual pecel lele yang berjualan di trotoar dapat dijerat pasal ini. Penjualan di atas trotoar dianggap perbuatan melawan hukum yang merugikan negara (kerugian atas penggunaan trotoar) dan memperkaya diri sendiri.
Dengan demikian, penjual pecel lele tersebut dapat dikategorikan telah melakukan tindak pidana korupsi.
Pasal 3 UU Tipikor: Frasa “Setiap Orang” Dinilai Melemahkan Esensi Korupsi
Pasal 3 UU Tipikor berbunyi: “Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).”
Chandra mempertanyakan frasa “setiap orang” dalam pasal ini. Ia berpendapat frasa tersebut terlalu luas dan tidak sesuai dengan esensi korupsi yang berkaitan dengan penyalahgunaan kekuasaan.
Tidak semua orang memiliki kekuasaan yang dapat disalahgunakan untuk merugikan keuangan negara. Oleh karena itu, menurut Chandra, pasal ini perlu direvisi.
Rekomendasi Perbaikan UU Tipikor: Menyesuaikan dengan UNCAC
Chandra merekomendasikan penghapusan Pasal 2 ayat (1) karena rumusannya yang ambigu dan melanggar asas lex certa. Ia juga menyarankan revisi Pasal 3 dengan mengganti frasa “setiap orang” menjadi “pegawai negeri” dan “penyelenggara negara”.
Rekomendasi ini selaras dengan Article 19 UNCAC (United Nations Convention Against Corruption). Selain itu, frasa “yang dapat merugikan keuangan negara dan perekonomian negara” juga perlu dihilangkan.
Ahli keuangan Amien Sunaryadi, mantan wakil ketua KPK, menambahkan bahwa fokus penegakan hukum di Indonesia lebih banyak pada kerugian keuangan negara, padahal kasus suap jauh lebih banyak terjadi. Perubahan fokus penegakan hukum ini dinilai perlu untuk efektifitas pemberantasan korupsi.
Kesimpulannya, sidang pengujian materiil UU Tipikor ini menyoroti pentingnya kejelasan dan ketepatan rumusan pasal dalam undang-undang agar tidak menimbulkan penafsiran yang salah dan merugikan. Revisi UU Tipikor yang sesuai dengan prinsip keadilan dan konsisten dengan standar internasional menjadi krusial untuk efektifitas pemberantasan korupsi di Indonesia.