Pada April 2025, industri mi instan Indonesia mencuri perhatian dunia di Korea International Ramyeon Fair di Seoul. Kehadiran merek mi instan Indonesia di ajang bergengsi ini menandai semakin meningkatnya popularitas kuliner Indonesia, khususnya mi goreng, di negeri ginseng.
Direktur Korean Cultural Center Indonesia, Kim Yong Woon, menjelaskan bahwa meningkatnya jumlah wisatawan Korea yang mengunjungi Indonesia telah meningkatkan popularitas mi goreng. Rasa gurih dan pedas-manisnya yang unik, berbeda dengan ramyeon Korea yang berkuah, menarik minat masyarakat Korea.
Mi Goreng Indonesia: Sensasi Rasa Baru di Korea
Mi goreng Indonesia, dengan cita rasa khasnya yang unik, berhasil merebut hati masyarakat Korea. Perbedaan signifikan dengan ramyeon Korea, yaitu tekstur kering dan rasa yang lebih berani, menjadi daya tarik tersendiri.
Bahkan, Kim Yong Woon sendiri mengakui awalnya kurang puas dengan porsi mi instan Indonesia. Namun, ia kini lebih menikmati mi instan Indonesia karena porsinya yang lebih besar dan rasa pedasnya yang lebih menonjol.
Strategi Pemasaran yang Jitu: Kolaborasi dengan Artis Korea
Indonesia, sebagai negara konsumen mi instan terbesar kedua di dunia menurut World Instant Noodles Association 2023, memanfaatkan strategi pemasaran yang efektif.
Banyak merek mi instan Indonesia menggandeng artis Korea sebagai bintang iklan. Strategi ini terbukti ampuh dalam meningkatkan pengenalan produk di pasar Korea Selatan.
Evolusi Ramyeon di Korea Selatan: Dari Kekurangan Pangan Hingga Kuliner Nasional
Sejarah ramyeon di Korea Selatan berawal dari upaya mengatasi kekurangan pangan pada tahun 1963. Satu bungkus ramyeon saat itu dijual dengan harga yang sangat terjangkau, yaitu 10 won.
Kini, harga rata-rata ramyeon mencapai 1.000 won (sekitar Rp 11.800). Perjalanan panjang ramyeon ini menunjukkan adaptasi dan inovasi yang terus dilakukan untuk memenuhi selera konsumen Korea.
Awalnya, ramyeon kurang populer karena cita rasanya yang dianggap hambar. Namun, seiring waktu, inovasi rasa, terutama varian pedas yang muncul pada tahun 1980-an, membuat ramyeon menjadi makanan pokok di Korea Selatan.
- Munculnya ramyeon rasa saus kedelai hitam pada 1970-an.
- Kemasan cup pada tahun 1973 mempermudah konsumsi.
- Bibim ramyeon (ramyeon pedas) pada tahun 1983.
- Ramyeon goreng pedas pada tahun 2012.
Inovasi terus dilakukan untuk memenuhi selera konsumen. Berbagai varian rasa dan cara penyajian diperkenalkan secara bertahap, hingga ramyeon menjadi makanan utama yang digemari.
Pertukaran Budaya Kuliner: Dari “Ramyeon Sungai Han” Hingga “Ramyeon Library”
Popularitas ramyeon juga menyebar ke Indonesia. Di Jakarta, muncul fenomena “Ramyeon Library”, sebuah tempat di mana pengunjung dapat memilih dan memasak berbagai macam ramyeon sendiri.
Fenomena ini mirip dengan kebiasaan masyarakat Korea di Sungai Han, yang membeli ramyeon di minimarket, memasaknya di tempat, dan menikmatinya di Taman Sungai Han, Seoul. Kebiasaan ini dikenal sebagai “Ramyeon Sungai Han”.
Kim Yong Woon berharap pertukaran budaya kuliner antara Indonesia dan Korea Selatan akan terus berlanjut dan mempererat hubungan kedua negara. Kedua negara, yang sama-sama pencinta mi instan, memiliki peluang besar untuk saling belajar dan berkolaborasi dalam industri kuliner.
Popularitas mi instan Indonesia di Korea Selatan, dan sebaliknya, mencerminkan bagaimana kuliner mampu menjembatani perbedaan budaya dan memperkaya pengalaman masyarakat global. Ini juga menjadi bukti bagaimana inovasi dan strategi pemasaran yang tepat dapat membawa produk lokal hingga ke kancah internasional.
Semoga kerjasama antar kedua negara terus berkembang dalam bidang kuliner dan membawa dampak positif bagi kedua negara.