Bayang-bayang Adolf Hitler, meskipun telah meninggal 80 tahun lalu, masih menghantui dunia maya. Platform X, milik Elon Musk, menjadi salah satu tempat penyebaran konten-konten yang memuja figur kontroversial ini. Foto-foto, meme, simbol swastika, dan slogan “Heil Hitler” mudah ditemukan dengan hanya mengetikkan namanya di kolom pencarian.
Ideologi ekstrem kanan yang dianut Hitler, termasuk antisemitisme, rasisme, dan penolakan terhadap demokrasi, terus menyebar secara global. Kelompok-kelompok pendukung paham tersebut aktif di berbagai negara, dari Jerman dan Eropa hingga Amerika Serikat, Amerika Latin, Timur Tengah, dan India.
Mein Kampf: Buku yang Tetap Menguntungkan
Ironisnya, buku manifesto Hitler, *Mein Kampf*, masih menjadi komoditas yang menguntungkan. Edisi-edisi lama buku ini dijual dengan harga tinggi di toko buku antik seluruh dunia.
Harga bervariasi tergantung bahasa dan lokasi penjualan. Edisi Jerman bisa mencapai 250 euro, sementara edisi Spanyol dan Inggris dibanderol lebih mahal lagi. Namun, di negara-negara seperti Mesir dan India, buku tersebut dapat ditemukan dengan harga yang jauh lebih terjangkau.
*Mein Kampf* sendiri merupakan karya yang memuat pandangan-pandangan ekstrem Hitler tentang dunia, antisemitisme, dan penolakan terhadap demokrasi dan keberagaman. Buku ini ditulis delapan tahun sebelum Hitler berkuasa di Jerman pada tahun 1933.
Dalam buku tersebut, Hitler menggambarkan bangsa Jerman sebagai “ras manusia unggul” dan memimpikan “Jermanisasi” wilayah Eropa Timur serta pengusiran paksa jutaan orang. Sejarawan Austria Othmar Plockinger menjelaskan inti ideologi Hitler: yang kuat akan menang, ras unggul yang berkuasa, dan dalam perebutan kekuasaan, yang menang adalah yang paling kuat dan tanpa belas kasihan.
Dari Buku yang Tak Terkenal Hingga Best Seller
Saat pertama kali terbit pada 18 Juli 1925, *Mein Kampf* tidak langsung menjadi sensasi. Hitler saat itu masih seorang pemberontak yang baru menjalani hukuman penjara karena makar.
Gerakan Nazi masih kecil dan tak berpengaruh. Banyak tulisan nasionalis dan memoar penjara lain yang lebih populer saat itu. Bahkan, isi *Mein Kampf* dianggap kurang orisinal dan mengecewakan oleh beberapa pendukungnya sendiri.
Namun, *Mein Kampf* kemudian menjadi best seller dan sumber pendapatan bagi Hitler. Sebuah tulisan di koran *Deutschen Zeitung* yang mengkritik Hitler sebagai “pemberontak muda yang sok tahu” justru memicu kemarahan dan meningkatkan popularitas buku tersebut.
Pengumuman Bencana dan Akibatnya
Keberanian Hitler dalam mengemukakan ideologinya tanpa kompromi menjadi salah satu keistimewaan *Mein Kampf*. Dalam buku tersebut, ia secara eksplisit mengumumkan perang eksistensial yang akan datang.
Keinginan Hitler untuk berkuasa memang sudah terlihat sejak awal. Pada pemilu Reichstag 1933, 17.277.180 warga Jerman memilih Hitler dan Partai Nazi, membuka jalan bagi mereka untuk merebut kekuasaan.
Kemenangan tersebut berujung pada Perang Dunia II dan Holocaust, pembantaian massal terhadap orang-orang Yahudi yang tak tertandingi dalam sejarah manusia. Rezim Nazi dan pendukungnya menyerang siapa saja yang dianggap musuh dengan kekerasan mengerikan.
Kematian Hitler pada 30 April 1945 dan berakhirnya Perang Dunia II menandai runtuhnya rezimnya. Rakyat Jerman bersumpah “Nie wieder” (Jangan terulang lagi).
Apakah Sumpah Itu Masih Berlaku?
Meskipun telah bersumpah setelah 1945, antisemitisme dan ideologi ekstrem kanan kembali muncul. Sejarawan Inggris Lisa Pine mencatat kembalinya bahasa beracun yang mengingatkan pada tulisan Hitler.
Pine menekankan pentingnya mengevaluasi karya Hitler untuk memahami akar masalah tersebut. Ia mengamati bahwa mahasiswa-mahasiswinya terkejut saat menganalisis kutipan dari *Mein Kampf*, menyadari betapa berbahaya ideologi Hitler tersebut.
Nikolas Lelle dari Yayasan Amadeu-Antonio di Berlin mengamati kembalinya ideologi ekstrem kanan. Ia mencatat meningkatnya vandalisme dengan simbol swastika dan peningkatan kekerasan oleh kelompok-kelompok ekstrem kanan.
Yayasan Amadeu-Antonio bahkan harus meningkatkan pengamanan karena ancaman kekerasan tersebut. Mereka membutuhkan kamera, pintu anti peluru, dan pengawal untuk melindungi diri.
Media Sosial: Titik Nyala Baru
Hilangnya tabu terkait ideologi ekstrem kanan merupakan perubahan dramatis, dan media sosial memainkan peran besar dalam hal ini. Matthew Feldmann dari Universitas Teesside mencatat media sosial mendukung strategi ganda ekstrem kanan.
Strategi tersebut, mirip dengan strategi Hitler, melibatkan penyebaran pesan radikal sambil tetap tampil sopan dan kompromistis. Nikolas Lelle menyerukan kesadaran publik yang lebih tinggi terhadap bahaya penyebaran ideologi ekstrem kanan di media sosial.
Ekstremisme kanan, antisemitisme, dan rasisme membutuhkan batas yang tegas. Konten-konten yang menyebarkan kebencian harus dikucilkan, dan penyebarnya harus bertanggung jawab atas tindakan mereka. Peringatan akan bahaya ideologi Hitler tetap relevan hingga saat ini, bahkan di era digital.