Jepang dilanda krisis beras dengan harga yang meroket hingga 99,2 persen pada Juni 2025 dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Lonjakan harga ini merupakan rekor tertinggi sepanjang tahun ini, menyusul kenaikan 92,5 persen pada Maret dan 98,4 persen pada April. Puncaknya terjadi pada Mei dengan kenaikan mencapai 101 persen. Situasi ini menimbulkan tekanan besar pada Perdana Menteri Shigeru Ishiba menjelang pemilihan umum.
Kenaikan harga beras dipicu oleh beberapa faktor. Panen yang buruk akibat musim panas ekstrem dua tahun lalu menjadi penyebab utama. Penimbunan beras oleh beberapa pedagang untuk meraup keuntungan juga memperparah keadaan. Aksi beli panik tahun lalu, yang dipicu oleh peringatan pemerintah tentang potensi gempa besar (yang akhirnya tidak terjadi), semakin memperburuk krisis. Pemerintah merespon dengan melepaskan cadangan beras darurat sejak Februari, langkah yang biasanya hanya diambil saat bencana.
Krisis Beras Mengancam Popularitas Ishiba
Dukungan publik terhadap Perdana Menteri Ishiba merosot tajam. Salah satu penyebab utamanya adalah inflasi, terutama lonjakan harga beras. Skandal dalam partai yang berkuasa juga turut menurunkan popularitasnya. Koalisinya kehilangan mayoritas di majelis rendah pada Oktober 2024, hasil pemilu terburuk LDP dalam 15 tahun. Jajak pendapat menjelang pemilihan umum menunjukkan potensi kehilangan mayoritas di majelis tinggi. Kekalahan ini berpotensi memaksa Ishiba mengundurkan diri setelah kurang dari setahun menjabat.
Tekanan Negosiasi Perdagangan dengan AS
Ishiba juga menghadapi tekanan terkait negosiasi perdagangan dengan Amerika Serikat. Tarif baru sebesar 25 persen terhadap produk otomotif, baja, dan aluminium Jepang akan berlaku pada 1 Agustus. Presiden Trump berupaya mendorong perusahaan Jepang memproduksi lebih banyak di AS. Ia juga mendesak Jepang untuk meningkatkan impor dari Amerika Serikat guna mengurangi defisit perdagangan sebesar 70 miliar dolar AS.
Upaya Diplomasi Ekonomi
Utusan perdagangan Ishiba, Ryosei Akazawa, telah melakukan tujuh kali kunjungan ke Washington untuk bernegosiasi. Perdana Menteri Ishiba juga akan menjamu Menteri Keuangan AS Scott Bessent. Negosiasi ini sangat krusial bagi Jepang untuk menghindari dampak negatif dari tarif baru yang diberlakukan AS. Keberhasilan negosiasi ini akan sangat memengaruhi citra kepemimpinan Ishiba.
Dampak Krisis Beras Terhadap Politik Jepang
Krisis beras dan tekanan ekonomi dari AS menimbulkan tantangan besar bagi Ishiba. Kenaikan harga beras secara signifikan memengaruhi biaya hidup masyarakat, meningkatkan ketidakpuasan publik dan berdampak pada elektabilitasnya. Kegagalan dalam mengatasi krisis beras dan mencapai kesepakatan perdagangan dengan AS dapat menjadi pukulan telak bagi pemerintahannya. Hasil pemilihan umum akan menjadi penentu nasib politik Ishiba dan koalisinya.
Krisis beras di Jepang bukan hanya masalah ekonomi semata, tetapi juga memiliki implikasi politik yang signifikan. Kegagalan pemerintah dalam mengatasinya berpotensi memperparah penurunan popularitas Perdana Menteri Ishiba dan mengancam stabilitas pemerintahan. Ke depannya, pemerintah perlu fokus pada peningkatan produksi beras, pengawasan terhadap praktik perdagangan yang tidak sehat, dan upaya mitigasi dampak inflasi terhadap masyarakat. Hasil pemilihan umum mendatang akan menjadi ujian nyata bagi kepemimpinan Ishiba dalam menghadapi krisis ini.