Pemerintah Indonesia, melalui Menteri Perdagangan Budi Santoso, memutuskan untuk tidak mengenakan Bea Masuk Anti Dumping (BMAD) terhadap impor benang filamen sintetis tertentu asal China. Keputusan ini menimbulkan kontroversi di kalangan pengusaha tekstil dalam negeri.
Alasan di balik keputusan tersebut adalah keterbatasan pasokan benang filamen sintetis di pasar domestik dan kapasitas produksi nasional yang belum mampu memenuhi kebutuhan industri pengguna. Sebagian besar produsen dalam negeri memproduksi untuk kebutuhan sendiri.
Penolakan Pengusaha terhadap Kebijakan Bebas BMAD
Keputusan ini menuai kecaman dari Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) dan Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI). Mereka menilai kebijakan ini mengancam industri tekstil dalam negeri.
Sekjen BPP HIPMI, Anggawira, menyayangkan kurangnya perhatian pemerintah terhadap industri dalam negeri. Ia khawatir kebijakan ini akan memicu persaingan yang tidak sehat dan merugikan produsen lokal.
APSyFI juga turut menyuarakan keprihatinannya. Mereka menilai keputusan ini mengabaikan keseimbangan sektor hulu dan hilir industri tekstil.
Kedua asosiasi tersebut memprediksi lonjakan impor produk murah dari negara seperti China dan Vietnam akan membanjiri pasar domestik. Hal ini akan menekan industri hulu tekstil yang padat modal dan padat karya.
Dampaknya, utilisasi mesin pabrik bisa menurun, PHK massal mungkin terjadi, dan bahkan deindustrialisasi dapat mengancam. Situasi ini tidak hanya berdampak ekonomi, tetapi juga strategis bagi Indonesia.
Alasan Kementerian Perdagangan Menolak Kenaikan Tarif BMAD
Kementerian Perdagangan (Kemendag) berargumen bahwa berbagai produk untuk industri tekstil dan produk tekstil (TPT) telah dikenakan trade remedies, seperti Bea Masuk Tindakan Pengamanan (BMTP).
BMAD juga telah diberlakukan untuk produk polyester staple fiber dari India, China, dan Taiwan. Kemendag khawatir kenaikan tarif BMAD akan meningkatkan biaya produksi dan menurunkan daya saing sektor hilir.
Keputusan ini merupakan hasil koordinasi lintas kementerian, termasuk Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Kementerian Keuangan, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas, dan Kementerian Perindustrian.
Komite Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) dan perwakilan industri terdampak juga memberikan masukan dalam pengambilan keputusan ini.
Hasil penyelidikan Komite Anti Dumping Indonesia (KADI) sejak September 2023 menjadi dasar keputusan ini. Penyelidikan dilakukan atas permohonan APSYFI yang mewakili PT Asia Pacific Fibers Tbk. dan PT Indorama Synthetics Tbk.
Produk yang diselidiki mencakup benang filamen sintetis tertentu dengan klasifikasi HS 5402.33.10; 5402.33.90; 5402.46.10; dan 5402.46.900.
Dampak Jangka Panjang dan Solusi yang Diusulkan
Meskipun Kemendag berdalih melindungi sektor hilir, para pengusaha memperingatkan dampak negatif jangka panjang dari kebijakan ini. Mereka menekankan pentingnya industrial equilibrium.
APSyFI mendesak pemerintah meninjau ulang keputusan ini dan mengedepankan keseimbangan industri, bukan hanya harga konsumen jangka pendek. Keputusan yang terlalu berpihak pada sektor hilir justru bisa merugikan di masa mendatang.
Tanpa proteksi tarif yang adil, industri hulu berisiko mati karena tak mampu bersaing dalam hal harga. Ini berujung pada penurunan utilisasi pabrik, PHK massal, dan migrasi industri ke luar negeri.
Keberlanjutan pasokan bahan baku ke sektor hilir pun akan terganggu. Indonesia berisiko semakin bergantung pada impor bahan baku dan kehilangan daya saing industri nasional.
Pemerintah perlu mempertimbangkan kembali kebijakan ini agar sektor hulu dan hilir industri tekstil dapat berkembang secara berkelanjutan dan seimbang.
Kesimpulannya, keputusan pemerintah untuk tidak mengenakan BMAD terhadap impor benang filamen sintetis dari China telah memicu kontroversi. Meskipun pemerintah berargumen demi melindungi sektor hilir, dampak jangka panjangnya terhadap industri hulu dan perekonomian nasional perlu dipertimbangkan secara matang.