Bank Dunia baru-baru ini memperbarui standar garis kemiskinan global, termasuk untuk Indonesia. Perubahan ini didasarkan pada paritas daya beli (PPP) tahun 2021, berbeda dengan standar sebelumnya yang menggunakan PPP 2017. Hal ini berdampak signifikan pada angka kemiskinan di Indonesia.
Pembaruan ini memberikan gambaran baru tentang tingkat kemiskinan di Indonesia. Mari kita telusuri lebih dalam dampak dari perubahan standar garis kemiskinan ini.
Standar Kemiskinan Baru Bank Dunia untuk Indonesia
Bank Dunia menetapkan tiga standar garis kemiskinan berdasarkan pendapatan per hari per orang. Standar tersebut dibedakan berdasarkan kategori pendapatan negara.
Untuk negara berpendapatan menengah atas (UMIC), seperti Indonesia, garis kemiskinan ditetapkan sebesar US$ 8,30 per hari atau sekitar Rp 1.512.000 per bulan. Angka ini lebih tinggi dari standar sebelumnya.
Garis kemiskinan ekstrem ditetapkan sebesar US$ 3,00 per hari (sekitar Rp 546.400 per bulan), sedangkan untuk negara berpendapatan menengah ke bawah (LMIC) sebesar US$ 4,20 per hari (sekitar Rp 765.000 per bulan).
Dampak Perubahan Standar terhadap Angka Kemiskinan Indonesia
Dengan menggunakan standar baru berbasis PPP 2021, Bank Dunia memperkirakan 68,3% penduduk Indonesia berada di bawah garis kemiskinan UMIC pada tahun 2024.
Ini berarti sekitar 194,72 juta jiwa dikategorikan miskin menurut standar baru ini. Angka ini lebih tinggi dibandingkan perhitungan sebelumnya yang menggunakan standar PPP 2017.
Perbedaan angka ini disebabkan oleh perubahan nilai tukar dan biaya hidup yang dipertimbangkan dalam PPP 2021. Bank Dunia menjelaskan peningkatan angka kemiskinan ini sebagai dampak dari ambang batas yang lebih tinggi.
Sebagai perbandingan, berdasarkan garis kemiskinan ekstrem, 5,4% penduduk Indonesia dikategorikan miskin, sementara 19,9% berada di bawah garis kemiskinan LMIC.
Rekomendasi Bank Dunia dan Pertimbangan Data BPS
Meskipun menggunakan standar internasional baru, Bank Dunia tetap merekomendasikan penggunaan data resmi Badan Pusat Statistik (BPS) untuk kebijakan di Indonesia.
Data BPS dinilai lebih relevan untuk merancang program perlindungan sosial dan kebijakan pengentasan kemiskinan di tingkat nasional.
Hal ini penting karena data BPS mempertimbangkan konteks lokal dan spesifik Indonesia, sehingga lebih akurat untuk perencanaan kebijakan dalam negeri.
Standar internasional Bank Dunia bermanfaat untuk perbandingan antar negara, namun implementasi kebijakan pengentasan kemiskinan tetap harus didasarkan pada data dan konteks lokal.
Kesimpulannya, perubahan standar garis kemiskinan Bank Dunia memberikan perspektif baru tentang kemiskinan di Indonesia. Meskipun angka kemiskinan terlihat meningkat, penting untuk tetap berpegang pada data BPS untuk merumuskan kebijakan yang efektif dan tepat sasaran dalam upaya pengentasan kemiskinan di Indonesia. Data ini harus menjadi landasan utama dalam perencanaan dan pelaksanaan program-program sosial yang lebih efektif.