Pegawai Kejaksaan Tinggi (Kejati) Jawa Tengah, Moch. Baiquni Justicia Rahman, kini tengah menghadapi tuntutan hukuman atas perannya dalam kasus dugaan penerimaan suap terkait Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS). Sidang yang berlangsung di Pengadilan Tipikor Semarang telah menghasilkan tuntutan yang cukup berat bagi terdakwa.
Jaksa penuntut umum menuntut Baiquni dengan hukuman penjara selama dua tahun dan denda sebesar Rp50 juta subsider tiga bulan kurungan. Kasus ini menyoroti celah dalam sistem rekrutmen CPNS dan dampaknya terhadap integritas lembaga penegak hukum.
Tuntutan Dua Tahun Penjara untuk Terdakwa Calo CPNS
Sidang yang digelar Selasa lalu di Pengadilan Tipikor Semarang menghadirkan tuntutan tegas dari Jaksa Penuntut Umum (JPU) Bagus Sutedja. Ia menyatakan Baiquni terbukti bersalah melanggar Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001.
Putusan ini merupakan konsekuensi dari tindakan Baiquni yang menawarkan bantuan kepada sejumlah calon CPNS dengan imbalan uang.
Modus Operandi dan Jumlah Korban
Jaksa menyatakan Baiquni mengungkapkan kepada tujuh korban bahwa ia merupakan anggota Panitia Seleksi CPNS Kejati Jawa Tengah tahun 2021 dan mampu membantu mereka diterima menjadi PNS.
Ia menjanjikan tempat untuk dua calon CPNS dengan syarat pembayaran uang suap. Total uang yang diterima Baiquni mencapai Rp1,07 miliar.
Kegagalan Sistem dan Dampaknya
Fakta menunjukkan bahwa tidak satu pun dari tujuh korban yang memberikan suap diterima menjadi PNS. Hal ini menunjukkan kegagalan sistem dan ketidakberesan dalam proses seleksi CPNS.
Perbuatan Baiquni juga dianggap tidak mendukung program pemerintah dalam pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).
Pertimbangan Jaksa dan Pembelaan Terdakwa
Dalam pertimbangannya, jaksa menekankan bahwa Baiquni sebagai PNS Kejati Jawa Tengah seharusnya mengetahui bahwa perbuatannya bertentangan dengan hukum.
Meskipun Baiquni telah mengembalikan sejumlah uang kepada korbannya, hal itu tidak mengurangi kesalahan yang dilakukannya.
Terdakwa diberikan kesempatan untuk menyampaikan pembelaan pada sidang selanjutnya.
Kasus ini menjadi pengingat penting tentang pentingnya transparansi dan integritas dalam proses rekrutmen CPNS. Perlu adanya pengawasan yang lebih ketat dan mekanisme yang lebih efektif untuk mencegah praktik-praktik koruptif serupa di masa mendatang. Semoga putusan pengadilan nanti dapat memberikan efek jera dan memperbaiki sistem seleksi CPNS agar lebih bersih dan adil.
Semoga kasus ini menjadi pelajaran berharga bagi seluruh aparatur negara untuk senantiasa menjunjung tinggi hukum dan etika dalam menjalankan tugasnya. Kepercayaan publik terhadap lembaga pemerintahan sangat bergantung pada integritas para penyelenggara negara.